HOS Tjokroaminoto merupakan salah satu pahlawan pergerakan nasional. Beliau adalah pemimpin organisasi Sarekat Islam (SI) yang pada awalnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Beliau bergabung dengan SI pada bulan Mei 1912. Ia banyak berjasa dalam meningkatkan kesadaran dan nasionalisme Bangsa Indonesia. Kiprahnya di Sarekat Islam juga banyak mengilhami generasi sesudahnya. Selain mengobarkan semangat kebangsaan, ia juga berjuang meningkatkan harkat dan martabat kaum pribumi di bidang perekonomian.
HOS Tjokroaminoto banyak melakukan pengkaderan terhadap generasi muda, sehingga muncullah nama-nama tokoh seperti Soekarno (berhaluan nasionalis), Muso (berhaluan komunis), Kartosuwiryo (berhaluan Islam garis keras). Pada perkembangan selanjutnya, Muso menjadi otak dari pemberontakan PKI di Madiun, dan Kartosuwiryo menjadi pelopor gerakan DI/TII yang ingin membentuk Negara Islam Indonesia.
Tjokroaminoto mempunyai keyakinan yang teguh, bahwa negara dan bangsa kita tak akan mencapai kehidupan jang adil dan makmur, pergaulan hidup jang aman dan tenteram, selama keadilan sosial belum dapat berlaku atau dilakukan mendjadi hukum dalam negara kita, sekalipun sudah merdeka. Terbukti sekarang, sekalipun kita sudah merdeka dan berdaulat bernaung di bawah pandji-pandji sang merah putih, namun rakjat jelata jang berpuluh-puluh juta jumlahnja belum merasakan kenikmatan dan kelezatan dalam kehidupan sehari-harinja. Rakyat masih tetap menderita berbagai kesulitan dan kemelaratan. Banyak timbul kekacauan, kekerasan, perampokan, penculikan dan pembunuhan, yang seolah-olah telah menjadi peristiwa sehari-hari. Sementara, bisa dikatakan tidak ada perhatian yang baik dan adil dari pihak pemerintah terhadap berbagai masalah tersebut.
Di kota-kota besar nampak pula kerusakan moral atau budi pekerti bangsa kita. Korupsi tampaknya sudah menjadi masalah sehari-hari, bahkan mungkin sudah menjadi bagian dari pekerjaan seseorang. Narkoba dan seks bebas juga sudah menjadi gaya hidup sebagian masyarakat. Tak ada kendali di dalam pikiran dan akal mereka yang dapat menahan hawa nafsunya. Ini semuanya, yang oleh Tjokroaminoto dikatakan “Jahiliyah modern”.
“Kalau alat-alat pemerintah RI yang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik pihak atasan maupun sampai bawahan sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah, yakinlah Negara akan rusak dan hancur dengan sendirinya, sebab segala perbuatan jahat, korupsi, penipuan, suapan dan sebagainya yang terang-terang merugikan Negara, dikerjakan dengan aman oleh mereka itu sendiri, rakyat mengerti sebab rakyat yang menjadi korban” (Petikan kata Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950)
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 6 Agustus 1882. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo.
“Sang raja tanpa mahkota”, begitulah kaum Kompeni Belanda menyebutnya, lihai cerdas, dan bersemangat. Ditakuti dan juga disegani lawan-lawan politiknya. Perjuangannya dalam membela hak kaum pribumi, benar-benar menempatkan dirinya menjadi seorang tokoh yang benar-benar dihormati. Terlahir dari keluarga bangsawan tak membuatnya bersikap angkuh, justru karena itulah ia akhirnya menjadi sebuah motor penggerak kemerdekaan bagi Indonesia, disaat semua manusia tertidur dalam belaian kompeni Belanda. Dialah tokoh politik yang berhasil menggabungkan retorika politik melawan penjajah Belanda dengan ideologi kebangsaan, sehingga mengenyahkan penjajah dari bumi Nusantara.
Setelah menamatkan studi di Oplayding School Foor Inladishe Ambegtenaren (OSVIA), sekolah pegawai pemerintahan pribumi Magelang, ia mengikuti jejak kepriayian ayahnya sebagai pegawai pangreh praja. Walaupun, akhirnya ia tinggalkan karena muak dengan kebiasaan sembah jongkok yang baginya sangat melecehkan.
Tahun 1905 Cokro pindah ke Surabaya dan bekerja pada perusahaan dagang, di samping ia juga belajar di sekolah malam Hogore Burger School. Bersama istrinya, Suharsikin, ia mendirikan kos-kosan di rumahnya. Melalui rumah kos inilah Cokro menyalurkan ilmunya dalam agama, politik dan berorasi, yang akhirnya menjadi cikal bakal pembentukan tokoh-tokoh penting di Indonesia. Istrinya, R. A. Suharsikin adalah cermin perempuan yang selalu memberikan bantuan moril. Sudah menjadi kebiasaannya, jika suaminya bepergian untuk kepentingan perjuangannya, istri yang sederhana dan prihatin ini mengiringi suaminya dengan sholat tahajud, dengan puasa, dan doa. Perbedaan ideologi dari para muridnya, secara tidak langsung memberikan warna sendiri bagaimana secara aktif ide-ide, ilmu dan gagasan Cokro menghujam ke dada mereka. Walaupun dengan pemahaman yang beraneka ragam, sesuai dengan latar belakang, pendidikan dan pekerjaannya masing masing. Jadi, pertarungan Soekarno, Kartosuwirjo dan Muso-Alimin sejatinya adalah pertarungan tiga murid dari seorang guru Cokroaminoto. Hal ini mengisyaratkan bahwa adanya perbedaan tafsir para murid terhadap guru, yang kemudian mendorong kecenderungan yang berbeda pula.
Untuk merealisasikan perjuangan menuntut Indonesia merdeka, ia masuk ke dalam Sarekat Dagang Islam (SDI) yang saat itu dipimpin oleh H.Samanhudi di Solo. SDI adalah sebuah pergerakan pertama Indonesia yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Bukan Budi Utomo seperti yang diketahui saat ini, karena SDI lahir lebih muda yakni pada tahun 1905. Pendistorsian sejarah semacam ini jelas kejahatan yang dilakukan oleh kelompok yang tidak sepaham, untuk mengaburkan perjuangan Indonesia secara nasional oleh SDI. Karena memang tujuan SDI adalah kemerdekaan. Semenjak masuknya Cokro ke dalam SDI, SDI berubah menjadi sebuah organisasi yang besar dan menakutkan bagi kolonial. Kemahirannya serta kepiawaiannya berpolitik dalam menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan memihak kepentingan rakyat, membuat SDI begitu di gandrungi rakyat pribumi. Terlebih setelah SDI berubah menjadi SI dan ia menjadi pemimpin SI. Lewat Cokro tujuan SI mulai diperjelas, yakni kemerdekaan Indonesia.
Karena aktivitas politiknya, Belanda akhirnya menangkap Cokro pada tahun 1921, karena dikhawatirkan akan membangkitkan semangat perjuangan rakyat pribumi, walaupun akhirnya dibebaskan pada tahun 1922. Pada tanggal 14-24 juni 1916 diadakanlah kongres nasional pertama di Bandung. Di dalam kongres tersebut, Cokro mengupas tentang pembentukan bangsa dan pemerintahan sendiri. Sebuah langkah yang sangat berani saat itu, karena bagi rakyat pribumi kemerdekaan adalah hal yang tabu untuk disampaikan. Suatu langkah politik yang benar-benar berani. Cokro membangun opini rakyat yang belum mengerti politik untuk berpihak terhadap perjuanganya. Yaitu menuntut Indonesia merdeka.
Di tengah pemerintah kolonial yang masih kuat, apalagi saat itu Belanda masih menerapkan peraturanReegerings Reglement (RR) sebuah peraturan yang berisi larangan berpolitik, berkumpul untuk membahas perjuangan kemerdekaan. Yang otomatis Cokro saat itu harus berhadapan dengan dua lawan, yaitu Belanda dan Pangreh Praja yang menjadi kaki tangan Belanda.
Roh Cokro akan masih terus bergerak menjadi spirit perjuangan, ketika kebangsaan diartikulasikan sebagai penggerak yang aktif, tidak statis. Yang mengatakan, “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid , sepintar-pintar siasat”. Beliau wafat pada tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta, dan dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. (Biografi Tokoh)
Pesan Tersirat :