MARHAENISME Dan Kedaulatan Politik

Amalkan Pancasila Mulai Diri Sendiri

MARHAENISME DAN KEDAULATAN POLITIK

(SUDARYANTO)

DIPERSIAPKAN SEBAGAI BAHAN SEMINAR MARHAENISME DAN KEDAULATAN BANGSA YANG DISELENGGARAKAN OLEH MARHAENISME.COM SOLO

SURAKARTA, 6 JUNI 2011

Pengantar

Saya diminta untuk menyampaikan paparan dengan judul “Marhaen­is­me dan Kedaulatan Politik.” Agar paparan ini dapat mencakup apa yang diindikasi­kan oleh tema seminar (Marhaenisme dan Kedaulatan Bangsa) dan sekaligus ha­rapan yang diinginkan melalui Kerangka Acuan seminar (berjuta-juta rakyat Mar­­haen yang masih kelaparan . . . Kapankah mereka akan memperoleh kedau­lat­an politik dan ekonomi?), maka dalam paparan ini “kedaulatan politik” akan saya bicarakan dalam konteks “negara-bangsa” maupun dalam konteks kedaulat­an politiknya “berjuta-juta rakyat Marhaen” itu.

Tentang Marhaenisme

Marhaenisme adalah faham atau ideologi yang menempatkan kaum marhaen di pusat masalahnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mar­tabat kaum marhaen di dalam wadah Indonesia yang merdeka. Thesis Par­tindo 1933 (lihat Lampiran 1) dapat dipergunakan sebagai titik tolak un­tuk memahami Marhaenisme. Thesis Partindo 1933 apabila dipahami sebagai satu kesatuan dengan tulisan-tulisan dan pidato-pidato Bung Karno, khu­susnya tulisan dan pidato pada akhir dasawarsa 1920an dan awal 1930an, memenuhi syarat sebagai sebuah ideologi. Sayangnya, sampai hari ini tidak ada partai atau lembaga yang melakukan sistematisasi terhadap tulisan dan pidato Bung Karno tersebut agar Marhaenisme dapat dipahami secara lebih cermat dan tidak menimbulkan perdebatan yang tidak perlu. Mudah-mudahan Marhaenisme.Com dapat merintis untuk melakukannya.

(Partindo atau Partai Indonesia adalah partai dan organisasi pertama yang menggunakan Marhaenisme sebagai azasnya. Thesis Partindo 1933 di­putuskan dalam kongresnya yang berlangsung di Yogyakarta pada tahun 1933. Partai Nasional Indonesia ketika didirikan pada tahun 1927 belum berasaskan Marhaenisme. Azas PNI waktu itu adalah Self-help).

Secara singkat dapat dikatakan, Marhaenisme adalah azas dan azas perjuangan (cara perjuangan dalam term Thesis Partindo 1933). Sebagai azas Marhaenisme menghendaki terbangunnya susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan marhaen; dan sebagai azas perjuangan Marhaenisme adalah cara perjuangan untuk men­capai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner. Marhaenisme adalah azas dan azas perjuangan yang menghendaki hilangnya tiap-tiap ka­pitalisme dan imperialisme.

Azas adalah dasar atau pegangan yang tidak boleh dilepaskan. Mes­ki­pun Marhaenisme itu lahir sebagai penantang terhadap terhadap kolonial­is­me Belanda, sebagai azas, Marhaenisme tidak boleh dilepaskan setelah ke­­mer­dekaan tercapai. Justru setelah kemerdekaan itulah sosio nasionalis­me dan sosio demokrasi harus menjadi pegangan dan landasan untuk mem­bangun susunan pergaulan hidup yang menyelamatkan kaum marhaen. A­zas itu ada­lah azas kebangsaan dan kemarhaenan (DBR halaman 249).

Dengan mengatakan bahwa “azas itu adalah azas kebangsaan dan kemar­haenan,” Bung Karno ingin menegaskan tentang adanya dua aspek yang harus memperoleh perhatian, yaitu aspek kabangsaan dan aspek ke­marhaenan. Oleh karena itu, kedaulatan politik yang sekarang kita bahas harus pula kita bicarakan menurut aspek kebangsaannya (yang menunjuk pa­da kedaulatan politik sebuah negara-bangsa) dan aspek kemarhaenan­nya (yang mengacu pada kedaulatan politik berjuta-juta rakyat marhaen).

Apakah Bangsa Indonesia Berdaulat?

Globalisasi yang digerakkan oleh sekitar 400 negara maya (perusa­ha­an multinasional) telah memudarkan batas-batas antarnegara dalam ber­bagai bidang kehidupan manusia. Dalam bidang politik, makin berku­rang kemampuan negara untuk mengontro kepatuhan warga negara, ka­re­na (1) internasionalisasi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, serta (2) meningkatnya interaksi kontak dan kepentingan pihak-pihak yang ter­libat globalisasi. Di bidang ekonomi, makin sulit bagi suatu negara untuk mempertahankan kebijakan ekonomi yang merdeka, karena secara fak­tual kegiatan ekonomi telah berada di luar batas teritorial negara. Semen­tara itu di bidang kebudayaan, suatu negara tidak mungkin lagi menghin­darkan diri dari pengaruh peradaban global, karena makin intensifnya in­teraksi antarbangsa melalui berbagai media komunikasi yang makin murah dan tersebar luas. Keadaan ini secara keseluruhan mengakibatkan suatu negara makin sulit untuk mempertahankan kedaulatannya.

Situasi obyektif seperti yang digambarkan di atas secara diametral bertentangan dengan semangat Trisakti Tavip (berdaulat dalam politik, ber­dikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan) seba­gai pilar kedaulatan bangsa Indonesia. Liberalisasi perdagangan sebagai inti dari globalisasi telah menjadi arus utama (mainstream) sistem perekono­mi­an dunia saat ini. Kalau bangsa Indonesia mau melaksanakan Trisakti Tavip untuk menegakkan kedaulatannya berarti harus melawan main­stream ini.

Itulah sebabnya, banyak orang mengatakan Trisakti Tavip itu adalah utopia atau sekedar mimpi orang-orang nasionalis di siang bolong. Kita ti­dak perlu cemas menghadapi “ejekan” seperti ini, meskipun juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Utopia adalah khas milik manusia, binatang tidak me­milikinya. Binatang hanya memiliki “dunia real” yang membelenggunya. Se­mentara itu manusia mempunyai “dunia yang mungkin” atau “dunia utopia” yang memimpin dan mendorong manusia untuk mengubah “dunia real”nya. Utopia adalah konstruksi simbolis untuk memotret dan membuat ruang yang mungkin bagi masa depan manusia. Persoalan yang sebenarnya adalah: bagaimana kita mengelola “mimpi” kita itu agar menjadi kenyataan, atau setidak-tidaknya mendekatinya. Adalah menjadi tugas ideologi untuk menstransformasikan tantangan-tantangan yang dihadapi menjadi masa­lah yang dapat dipecahkan oleh cara-cara perjuangannya.

Apakah Rakyat Berdaulat?

Tidak seperti yang diperkirakan banyak orang, Reformasi 1998 ter­nyata tidak membuahkan demokrasi (liberal) model Amerika, melainkan melahirkan suatu rejim yang bisa disebut sebagai rejim polyarchy electoral­ism. Yang saya maksud dengan rejim polyarchy electoralism adalah suatu bangun politik yang dikendalikan oleh elite (politik maupun ekonomi) me­lalui pemilihan umum.

Melalui Reformasi 1998, bangunan politik Orde Baru yang monolitik ditumbangkan dan pintu bagi proses demokratisasi serta penegakan hak asasi manusia dibuka. Gelombang reformasi tersebut telah memecah kon­sentrasi kekuasaan satu polar menjadi beberapa polar kekuasaan yang di­ba­ngun di sekitar tokoh-tokoh berpengaruh, yang menjadi cikal bakal partai-partai yang memegang peranan penting pada era reformasi. Proses demokratisasi di tingkat negara yang tidak segera diikuti oleh proses de­mokratisasi dalam kehidupan internal partai, ditambah lagi dengan besar­nya harapan massa dan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh elite partai, secara bersama-sama menciptakan kondisi bagi terbentuknya kepemim­pinan yang oligarkhis. Dalam kepemimpinan oligarkhis semacam ini, para pemimpin berkomplot untuk membentuk blok kepentingannya sendiri ser­ta melegitimasi sendiri itu sebagai tujuan organisasi.

Gelombang globalisasi yang gencar melanda Indonesia, pada giliran­nya juga membentuk kembali ideologi-ideologi partai dengan menyusup­nya globalisme ke dalam muatan ideologi yang asli, yang pada akhirnya ju­ga mendefinisikan ulang kesadaran para pemimpinnya. Oligarkhi yang ter­bangun dalam partai-partai itu lebih dekat dengan ideologi globalisme, dan dengan mudah dapat mematahkan semangat perjuangan para pendukung­nya yang kurang pengalaman dan kurang pendidikan.

Rent seeking activities sebagai instrument pembentukan kapital me­ru­­pakan salah satu ciri yang menonjol dalam pembangunan teknokratis yang dijalankan Orde Baru. Aktivitas pemburuan rente seperti ini juga me­ru­pa­kan salah satu ciri model developmentalist state yang dijalankan oleh negara-negara Asia Timur, seperti Jepang dan Korea Selatan. Reformasi 1998 yang diakhiri tanpa kemenangan ide­ologis, telah memberi ruang yang cukup luas kepada pemburu rente untuk “menyelamatkan diri” dan ber­meta­morfosa ke dalam orde reformasi. Melalui proses politik yang berjalan setelah Reformasi 1998, khususnya melalui pelaksanaan Pemilu 1999, terbangunlah senyawa organis antara pemburu rente warisan Orde Baru dengan oligakhi partai-partai politik yang tengah bersaing memperebutkan kendali kekuasaan. Senyawa antara pemburu rente dan oligarkhi politik ini­lah yang kemudian mendasari lahirnya rejim polyarchy electoralism sebagai habitat politik yang cocok untuk mempertahankan dan melindungi kepen­tingan mereka melalui penggunaan uang sebagai sumber daya politik yang utama. Mereka muncul sebagai kelompok atau kelas baru yang berkuasa dan menggunakan negara sebagai alat struktural maupun instrumental untuk memperkaya diri, sebuah model pencarian kekayaan yang dilakukan secara kolektif. Biaya politik yang mahal sebagai akibat pengendalian ranah politik dengan kekuasaan uang bukanlah sebuah kecelakaan (by accident), melainkan sebuah habitat politik yang secara sistimatis diciptakan (by design), yang berfungsi sebagai formalin untuk mengawetkan kekuasaan mereka. Reformasi 1998 telah mengubah negara otoritarian bukan men­ja­di negara demokrasi (di mana kekuasaan berada di tangan rakyat), melainkan menjadi negara elektokrasi (di mana kekuasaan berada di tangan para elek­­tokrat).

Jakarta, 5 Juni 2011.

Lampiran 1

THESIS PARTINDO 1933

1. Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

2. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat, dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.

3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh ka­re­na perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bias juga diartikan bahwa ka­um tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalam­ya.

4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa di dalam perjuangan, kaum me­larat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemen­nya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Mar­haen itu.

5. Di dalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan, bah­wa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali.

6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Mar­haen.

7. Marhaenisme adalah pula cara-perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karena­nya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.

8. Jadi Marhaenisme adalah: cara-perjuangan dan azas yang menghen­daki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialism. . . .

9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalan­kan Marhaenisme.

Lampiran 2

APA KATA BUNG KARNO

(Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1)

UMUM

· Politik buat saya bukanlah pertama-tama menciptakan suatu idée, politik buat saya ialah menyusun suatu kekuasaan yang terpikul oleh idée. Hanya machtvorming yang terpikul oleh idée itulah yang bisa mengalahkan segala musuh kaum Marhaen. (168)

· Azas adalah dasar atau “pegangan” kita, yang, “walau sampai lebur kiamat”, terus menentukan “sikap” kita, terus menentukan “duduknya nyawa kita”. Azas tidak boleh kita lepaskan, tidak boleh kita buang, walaupun kita sudah mencapai Indonesia-Merdeka, bahkan malahan sesudah tercapainya Indonesia-Merdeka itu harus menjadi dasar caranya kita menyusun kita punya masyarakat. Sebab justru sesudah Indonesia-Merdeka itu timbullah pertanyaan: bagaimana kita menyusun kita punya pergaulan-hidup? Dengan azas atau cara bagaimanakah kita menyusun kita punya pergaulan-hidup? Cara monarchie? Cara Republik? Cara kapitalistis? Cara sama-rasa-sama-rata? Semua pertanyaan-pertanyaan ini, dari sekarang sudahlah harus terjawab di dalam azas kita. Dan bagi kita Marhaen, azas kita ialah kebangsaan dan ke-Marhaen-an, — sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. (249)

· Tetapi kini timbullah pertanyaan: bagaimanakah kita bisa mencapai Indonesia-Merdeka, dan kemudian bisa melaksanakan azas kita itu? Jawab hanyalah satu: kita harus menjalankan perjoangan. Zonder perjoangan, zonder bergerak habis-habisan, kita tak akan mencapai Indonesia-Merdeka itu. . . . . . Ya, . . . tetapi perjoangan yang bagaimana? Perjoangan dengan cara minta-minta? Dengan cara dewan-dewanan? Dengan cara kecil-kecilan, cara salon-salonan, cara warung-warungan? Pertanyaan ini adalah dijawab oleh azas-perjoangan, atau dengan bahasa Belanda: strijdbeginsel. Azas-perjoangan adalah menentukan hukum-hukum daripada perjoangan itu, menentukan “strategie” daripada perjoangan itu. Azas-perjoangan menentukan karakternya perjoangan itu, sifat-wataknya perjoangan itu, garis-garis besar daripada perjoangan itu, –bagaimananya perjoangan itu. (249-50)

· All right. Tetapi bagaimana kita harus memelihara perjoangan kita yang sudah kita beri azas-perjoangan itu? . . . . . Dengan taktik! Taktik adalah segala perbuatan apa sahaja yang perlu untuk memelihara perjoangan itu. Taktik kita jalankan, kita robah, kita belokkan, kita putarkan, kita candrakan menurut keperluan sehari-hari. . . . . . Marx pernah berkata, bahwa kalau perlu, kita boleh merubah taktik 24 kali di dalam 24 jam. Dan Liebknecht pernah mengatakan, bahwa berobahnya taktik adalah seperti berobahnya buah-buah-catur di atas papan-catur: tiap-tiap macam sikapnya musuh, tiap-tiap keadaan, kita harus jawab dengan taktik yang secocoknya. Ini hari kita menjalankan aksi-garam, besok pagi kita jalankan aksi-buruh, besok lusa kita jalankan aksi-pajak; ini hari kita mementingkan kursus, besok pagi kita mementingkan rapat-umum, besok lusa kita bikin pers-kampanye, besok lusa lagi kita “diam di dalam tujuh bahasa”; ini hari kita menyerang, besok pagi kita mengatur susunan, besok lusa kita berdemonstrasi, besok lusa lagi kita menggugah kaum perempuan. Begitulah ganti-gantinya taktik, begitulah naik-turunnya dan maju-mundurnya ombak-ombak-taktik di dalam lautan perjoangan. (250-1)

· Azas tetap-terus “sampai lebur kiamat”, azas-perjoangan tetap sampai Indonesia-Merdeka, taktik berobah tiap-tiap waktu. Azas seakan-akan abadi, tetapi taktik tak tentu umur. Satu macam taktik bisa jadi perlu dijalankan selama sepuluh tahun, tapi bisa juga sudah perlu dibuang lagi di dalam sepuluh menit. (251)

· Pergerakan yang kacau-balau di dalam bathinnya, akan segera menjungkel karena terserimpet kekacau-balauannya sendiri. (251)

MARHAENISME SEBAGAI AZAS

· Apakah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu? Dua perkataan ini adalah perkataan bikinan, kami punya bikinan. Sebagaimana perkataan Marhaen adalah tempo hari kami “bikinkan” buat yang menyebut kaum yang melarat-sengsara, maka perkataan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi adalah pula perkataan-bikinan untuk menyebutkan kita punya nasionalisme dan kita punya demokrasi. Sosio adalah terambil daripada perkataan yang berarti: masyarakat, pergaulan-hidup, hirup-kumbuh, siahwee. Sosio-nasionalisme adalah dus: nasionalisme-masyarakat, dan sosio-demokrasi adalah demokrasi-masyarakat. (174)

· Masyarakat yang nanti kita dirikan, haruslah masyarakat sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, cara-pemerintahan yang nanti kita jalankan adalah cara-pemerintahan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, republic yang nanti kita dirikan adalah republik sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, –suatu republik politik-sosial yang tiada kapitalisme dan tiada imperialism. (249)

· Sosio-nasionalisme adalah “nasionalisme-masyarakat”, nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wet-wetnya masyarakat itu . . . . . dan tidak bertindak melanggar wet-wetnya masyarakat itu. (187)

· Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, nasionalis yang bukan chauvinis . . . . . (5)

· . . . . . maka sosio-nasionalisme adalah nasionalisme Marhaen, dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat ini. Jadi: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik DAN ekonomi, suatu nasionalisme yang bernaksud mencari keberesan politik DAN keberesan ekonomi, keberesan negeri DAN keberesan rezeki. (175)

· Demokrasi-masyarakat, sosio-demokrasi, –adalah timbul karena sosio-nasionalisme. Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demokrasi a la Revolusi Perancis, bukan demokrasi a la Amerika, a la Inggeris, a la Nederland, a la Jerman d.l.l., tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik DAN ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik DAN demokrasi-ekonomi. (175)

MARHAENISME SEBAGAI AZAS PERJUANGAN

· Kini apakah-azas perjoangan Marhaen? Azas-perjoangan adalah misalnya: non-koperasi, machtsvorming, massa-aksi, dan lain-lain. Non-koperasi karena Indonesia-Merdeka tak akan tercapai dengan pekerjaan-bersama dengan kaum sana, machtsvorming karena kaum sana tak akan memberikan ini dan itu kepada kita kalau tidak terpaksa oleh macht kita, massa-aksi oleh karena machtsvorming itu hanya bisa kita kerjakan dengan massa-aksi. (250)

· Non-kooperasi berarti “tidak mau bekerja bersama-sama”. . . . Non-kooperasi kita adalah salah satu azas-perjoangan (strijdbeginsel) kita untuk mencapai Indonesia-Merdeka. Di dalam perjoangan mengejar Indonesia-Merdeka itu kita harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, antara antara kaum penjajah dan kaum yang dijajah. (189)

KAPITALISME DAN IMPERIALISME

· Kapitalisme adalah stelsel pergaulan-hidup, yang timbul daripada cara-produksi yang memisahkan kaum-buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme adalah timbul dari ini cara-produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya meerwaarde tidak jatuh di dalam tangannya kaum-buruh melainkan jatuh di dalam tangannya kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, adalah menyebabkan kapitaalaccumulatie, kapitaalconcentratie, kapitaalcentralitatie, dan industrieel reserve-armee. Kapitalisme mempunyai arah kepada Verelendung, yakni menyebarkan kesengsaraan. (181)

· Imperialisme adalah suatu nafsu, suatu politik, suatu stelsel menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri bangsa lain, suatu stelsel overheersen atau beheersen ekonomi atau negeri bangsa lain. Ia adalah suatu verschijnsel, suatu “kejadian” di dalam pergaulan hidup, yang menurut faham kita timbulnya ialah karena keharusan-keharusan atau noodwendigheden di dalam geraknya ekonomi sesuatu negeri atau sesuatu bangsa. (122)

· Terutama kaum Marxis-lah yang banyak urunannya. . . . . Mereka membuktikan, bahwa semua imperialisme adalah berazaskan urusan rezeki-sendiri, urusan rezeki-sendiri yang berupa mengambil bekal hidup atau levensmiddelen, urusan rezeki-sendiri yang mencari pasar-pasar-penjualan barang-barang alias afzetgebieden, urusan rezeki-sendiri mencari padang-padang pengambilan bekal-industri alias grondstofgebieden, urusan rezeki sendiri yang mencari tempat-tempat menggerakkan kapital-kelebihan alias exploitatiegebieden daripada surpluskapitaal. (122-3)

Pesan Tersirat :

Check

Dapatkan informasi lain di web

3 komentar :

Anonymous said...

[url=http://buycialispremiumpharmacy.com/#ueuxn]buy cialis online[/url] - cialis online , http://buycialispremiumpharmacy.com/#jqfre cialis online

Anonymous said...

[url=http://buyviagrapremiumpharmacy.com/#vfroa]viagra online[/url] - buy viagra , http://buyviagrapremiumpharmacy.com/#ntcpb buy cheap viagra

Anonymous said...

[url=http://buyonlineaccutanenow.com/#nifds]cheap accutane online[/url] - order accutane , http://buyonlineaccutanenow.com/#ohwzs buy generic accutane

 

Free Blog Templates

Blog Tricks

Easy Blog Tricks

bukan blog koruptor

perangi korupsi
dari dirimu sendiri
©  Grunge Theme Copyright by Paguyuban NASIONALIS Kab Malang | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks