Bung... panggilan yang mulai marak dan memasyarakat. Kucoba mencari dan menemukan dari halaman milik http://jagatalun.com/ yang mengulas tentang panggilan Bung berikut isinya :
Bung, di mana kini kau berada
Bertahun lamanya kita berpisah
Tak tentu di mana rimbanya
Semenjak …
Malam itu kita bersua
Bung, bilakah kau akan kembali
Gelisah …
Tak sabar hamba menanti lagi.
|
Bung Karno |
Kalimat-kalimat di atas, merupakan cuplikan lirik lagu “
Bung di Mana”
yang dipopulerkan
Diah Iskandar pada sekitar tahun 1960-an. Sayangnya,
saya tidak ingat lagi siapa penciptanya (Ada yang tahu?).
Sejak era revolusi fisik (1940-an) hingga 1960-an, memang tak sedikit
pencipta lagu pop maupun lagu perjuangan, yang mencantumkan panggilan
“Bung” dalam lirik lagunya. Mungkin Anda, atau Ayah Anda, atau Kakek
Anda, masih ingat dengan lirik lagu sebagai berikut: …
waktu semalam
Bung/aku bermimpi/digigit ular Bung/ besar sekali.
Kemudian, keterlaluan saja kalau Anda tidak ingat lagi dengan lirik lagu
yang berbunyi: …
Mari Bung rebut kembali … Itu lirik penutup lagu
perjuangan karangan
Ismail Marzuki, untuk menyemangati para prajurit
Siliwangi yang tengah berjuang merebut kembali Bandung dari tentara
Belanda, dalam peristiwa “
Bandung Lautan Api”.
Memasuki dekade 1970-an hingga sekarang, lagu-lagu yang mencantumkan
panggilan “Bung” tak pernah lagi diciptakan, seiring surutnya panggilan
Bung dalam pergaulan masyarakat Indonesia. Panggilan Bung, yang terasa
lebih demokratis karena tidak membeda-bedakan strata sosial ataupun
rentang usia, kembali digantikan dengan panggilan yang feodalistik:
Bapak. Atau panggilan primordialistik: Mas, Akang, Abang.
|
Bung Hatta |
|
Bung Syahrir |
Saya tidak tahu siapa yang mulai mempopulerkan panggilan Bung. Tetapi
kemungkinan besar, panggilan Bung mulai muncul ke permukaan pada
peristiwa
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Saat itu, para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia datang ke
Jakarta, dengan membawa berbagai
kekhasannya, termasuk kekhasannya dalam
memanggil sesama teman. Pemuda dari
Jawa tengah dan
Jawa Timur,
misalnya, akan terbiasa memanggil temannya dengan sebutan
Mas. Sebutan
itu tentu saja terasa asing bagi para pemuda dari daerah lainnya. Sebut
saja bagi para pemuda
Pasundan yang biasa menggunakan panggilan
Akang.
Untuk itu diperlukan suatu panggilan yang bersifat umum dan terasa lebih
demokratis,
egaliter,
tidak membeda-bedakan usia, suku dan golongan.
Maka muncullah panggilan
Bung. Panggilan Bung, kemudian menjadi semakin
populer di kalangan para pejuang kemerdekaan RI. Terutama setelah para
pendiri Republik, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir, memberikan contoh
dengan menyebut diri mereka: Bung.
Para pejuang kemerdekaan akan menyapa teman-teman seperjuangannya dengan
seruan: Merdeka, Bung! Panggilan Bung pun sering terdengar, baik dalam
pertemuan formal maupun informal, bahkan masuk pula dalam karya sastra.
Salah satunya termaktub dalam puisi Chairil Anwar, Antara
Krawang-Bekasi:
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
|
Tiga serangkai: Bung Syahrir, Bung Karno, Bung Hatta |
Pernah, di masa Orde Baru, para deklamator tidak berani membaca
baris-baris: menjaga Bung Karno/ menjaga Bung Hatta/ menjaga Bung
Syahrir … Baris-baris tersebut dibuang begitu saja, sehingga puisi
Chairil Anwar yang satu ini, menjadi tidak utuh lagi. Bukan karena
alergi terhadap panggilan Bung, tetapi lantaran takut dicap antek-antek
Soekarno, atau antek-antek Orde Lama.
Tetapi panggilan Bung memang perlahan menghilang, sejak Soeharto menjadi
Presiden RI. Encyclopaedia Americana volume lama yang terbit tahun
1970-an, secara khusus menulis dalam bab tentang Soeharto, bahwa
panggilan Bung, sejak Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI, digantikan
dengan panggilan Bapak. Dan, panggilan seperti itu tampaknya sesuai bagi
masyarakat Indonesia yang paternalistik.
|
Bung Tomo |
Bukan soal paternalisme, sebetulnya. Namun lebih disebabkan hirarki
dalam ketentaraan. Tentara diharuskan memanggil Bapak kepada atasannya,
atau kepada orang yang pangkatnya lebih tinggi. Ini berlaku secara
universal di kalangan militer. Di Amerika Serikat saja, yang mengklaim
sebagai negara paling demokratis pun, para prajuritnya diwajibkan
memanggil Sir, kepada atasannya.
Di zaman revolusi fisik, panggilan Bung memang lebih populer di kalangan
pejuang sipil, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Bung Tomo,
Bung Chairul Saleh, Bung Adam Malik. Sedangkan di kalangan militer
panggilannya memang tetap Pak, seperti Pak Dirman, Pak Nasution, Pak
Harto, Pak Simatupang, Pak Kawilarang, Pak Urip.
Jadi wajarlah. Ketika republik ini dipimpin orang sipil (Soekarno),
panggilan Bung bergaung dari Sabang sampai Merauke. Tetapi tatkala
pimpinannya digantikan orang militer (Soeharto), panggilan Bapak merebak
ke seluruh negeri. Lalu mengapa Habibie dan Abdurrahman Wahid yang
notabene orang sipil tidak lantas dipanggil Bung sewaktu menjabat
Presiden RI? Mungkin karena Habibie sudah keenakan dengan panggilan
Bapak sejak ia masih menjabat Menteri, dan Abdurrahman Wahid sudah
terlanjur akrab dengan panggilan Gus sejak masa kanak-kanak. Maklum, dia
kan anak Kiyai.
Di masa Soeharto, sebenarnya masih ada pejabat pemerintah yang lebih
suka dipanggil Bung, yakni Bung Adam Malik. Dia memang salah seorang
pejuang sipil di zaman revolusi kemerdekaan. Tatkala Adam Malik
meninggal dunia, majalah Times menulis in memoriam tentang mantan wakil
presiden ini, dengan judul: The Last Bung.
|
Bung m Malik |
Bila ukurannya adalah pejabat pemerintah, Adam Malik sebenarnya bukan
The Last Bung. Masih ada pejabat lainnya yang berusaha keras agar
dipanggil Bung, yakni Bung Abdul Gafur dan Bung Harmoko.
Bung Gafur memang sudah biasa dipanggil Bung di kalangan Angkatan ’66
(yang rata-rata dilahirkan pada zaman revolusi). Sedangkan Bung Harmoko
adalah wartawan sekaligus seniman, dan panggilan Bung sampai sekarang
pun masih digunakan di kalangan kedua profesi tersebut. Paling tidak di
kalangan wartawan tua dan seniman tua.
Bung Mochtar Lubis, dalam pidato kebudayaannya tentang “Ciri Manusia
Indonesia” di Taman Ismail Marzuki (TIM) tahun 1977, mengajak masyarakat
Indonesia untuk kembali menggunakan panggilan Bung kepada siapapun,
sebagai salah satu upaya membudayakan perilaku demokrasi. Tetapi ajakan
Mochtar Lubis ini tampaknya tidak berhasil, bahkan di lingkungannya
sendiri.
Sebagai bukti, sewaktu saya menemui Mochtar Lubis di kantornya, kantor
penerbit Yayasan Obor Indonesia, pada sekitar tahun 1980-an, saya tidak
menemukan satu orang pun bawahan atau pegawai Bung Mochtar, yang
memanggilnya Bung. Semuanya memanggilnya Bapak. Saya tidak sempat
bertanya mengapa Bung Mochtar tidak melarang pegawainya memanggilnya
Bapak.
Sekarang, panggilan Bung sudah nyaris sirna. Kalaupun masih ada yang
menggunakannya, tetaplah angkatan tua, seperti saya, atau orang-orang
yang lebih tua dari saya. Mungkin masih ada kalangan muda yang
menggunakannya, namun jumlahnya sangat sedikit. Saya pernah ditertawakan
oleh yunior saya, sewaktu saya memanggilnya Bung. Dia bilang, “kayak
pejuang kemerdekaan aja.” Temannya (yang juga yunior saya) menimpali,
“jadul banget …”
Jadul alias kuno, itulah pandangan anak-anak sekarang terhadap panggilan
Bung. Tetapi yang lebih memprihatinkan, tak sedikit orang tua atau
orang yang merasa dituakan, tersinggung ketika dipanggil Bung. Panggilan
Bung yang diucapkan oleh orang yang lebih muda, dinilainya sebagai
kelancangan. Orang-orang ini lebih merasa dihormati jika dipanggil
Bapak.
Sayangnya, negeri ini terlalu machoistic, tidak ada panggilan yang
setara Bung, untuk perempuan. Ada sih, yaitu Mbak. Tapi panggilan Mbak
sangat terasa Jawa. Meski untuk sementara, bolehlah.
Untuk sementara juga, mari kita populerkan kembali panggilan Bung. Itu
pun kalau Anda mau. Saya ingin panggilan Bung kembali membumbung.
Tetapi, Bung, di mana kini kau berada?
Billy Soemawisastra
[Foto-foto: www.tokohindonesia.com, kolomsejarah.wordpress.com,
Pesan Tersirat : mari kita panggilan Bung
Check