Ribuan Banser Akan Peringati HKP

Amalkan Pancasila Mulai Diri Sendiri

Bogor - Ribuan anggota kader Barisan Ansor Serbaguna (BANSER) Nahdlatul Ulama akan melakukan apel akbar di Kota Bogor, untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila (HKP), pada Sabtu (1/10).

Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kota Bogor, Zaenul Mutaqin, Jumat (30/9), di Bogor, mengatakan, apel akbar Banser tersebut akan diikuti sekitar 3.000 anggota yang berasal dari PC GP Ansor dari berbagai daerah di Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan perwakilan dari berbagai daerah se-Indonesia.

Menurut Zaenul, GP Ansor memiliki kepentingan dalam mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan semangat dan cita-cita Pancasila.

Apel akbar anggota Banser dan peringatan Kesaktian Pancasila itu mengusung tema "Gerakan Nasional Hidup Bersama Pancasila."

"Ansor ingin menjamin kehidupan berbangsa sesuai dengan Pancasila dengan menjamin keragaman yang ada di tengah masyarakat," ungkap dia.


Pesan Tersirat :

Check

Dapatkan informasi lain di web
Read More … Ribuan Banser Akan Peringati HKP

Penghinaan pada Pancasila


Amalkan Pancasila Mulai Diri Sendiri

Pengurus Konferensi Wali Gereja Indonesia, Romo Benny Susetyo, menyesalkan peristiwa bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah. Gereja sebagai tempat ibadah semestinya dijaga, bukan dirusak.
Ini penghinaan terhadap rumah Tuhan dan Pancasila. Rumah Tuhan harusnya dijaga, bukan berperang rumah Tuhan. Orang-orang yang menghalalkan cara seperti itu tidak layak hidup dalam bangsa ini. Tindakan ini melukai bangsa kita, " ujar Romo Benny di kantor pusat Gerakan Pemuda Ansor, Jakarta Pusat, Minggu (25/9/2011) petang.
Ia menuntut pemerintah bersikap tegas terhadap berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi yang berlatar belakang SARA. Menurutnya, hal ini merusak nilai-nilai toleransi yang selama ini telah dipupuk lewat Pancasila.
"Ini saatnya Bapak Presiden kita tidak hanya berwacana, tapi juga bertindak, menuntaskan kasus-kasus seperti ini. Harus tegas memberantas budaya-budaya kekerasan semacam ini," katanya.

Sumber : komp@s nasional
Pesan Tersirat : Pemerintah berkewajiban melindungi warganya

Check

Dapatkan informasi lain di web
Read More … Penghinaan pada Pancasila

Pahlawan Yang Terlupakan

Amalkan Pancasila Mulai Diri Sendiri

*) Ikrar Nusa Bhakti

Wajahnya masih memancarkan semangat juang meski ia kini berusia senja. Jalannya juga masih gagah menunjukkan ia adalah prajurit sejati. Di pelupuk matanya ada selotapeyang menempel sampai ke alis matanya yang putih untuk menahan agar matanya tetap terbuka.

Saat berbicara, suaranya masih lantang walau agak gemetar. Tak banyak orang mengetahui siapa ia. Ternyata ia adalah Ilyas Karim, sang pengerek bendera pusaka saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 di Jalan PegangsaanTimur 56, Jakarta.

Siapa nyana pengalaman Ilyas Karim mengenai detik-detik yang mendebarkan 66 tahun lalu itu ia kisahkan di acara “Democrazy” di Metro TV pada Minggu (14/8). Acara parodi politik khas anak-anak muda itu ternyata juga dapat menggugah hati kita agar, mengutip ucapan Bung Karno, “Jangan sekali- kali melupakan sejarah.”

Secara gamblang Ilyas mengisahkan bagaimana ia bisa menjadi pengerek pertama bendera pusaka yang dijahit tangan ibu negara kita yang pertama, Fatmawati. Pada malam 16 Agustus 1945 para pemuda yang bermarkas di Menteng Raya 31, Gedung Juang sekarang, diberi tahu oleh pimpinan mereka,Chaerul Saleh, agar pagi hari siap-siap berangkat ke rumah Ir Soekarno di Pegangsaan Timur 56.

Jalan dari Menteng ke Pegangsaan Timur tidaklah terlalu jauh, sekitar 3 km. Sesampainya mereka di rumah itu, alangkah kagetnya Ilyas karena mendapatkan tugas untuk menaikkan bendera pusaka diiringi lagu Indonesia Raya. Tugas menaikkan bendera pusaka itu ia lakukan tanpa latihan apa pun! Ini berbeda dengan para pengerek bendera pusaka di Istana Merdeka sekarang yang harus dilatih berminggu minggu.

Ada suatu yang lucu saat penaikan bendera itu. “Saat itu,” kata Ilyas, ”Lagu Indonesia Raya belum selesai, sementara bendera sudah mencapai ujung tiang bendera. Akhirnya Ilyas langsung saja mengikat tali bendera sampai lagu Indonesia Raya selesai dinyanyikan.” Ilyas memang secara kebetulan ditugaskan oleh Sudanco Latief agar berdua dengan Sudanco Singgih menjadi pengerek bendera pusaka.

Pria kelahiran 13 Desember 1927 ini kini hidup di rumah sempit berukuran 50 meter persegi di pinggir rel kereta api di Jalan Rajawali Barat, Kalibata, Jakarta Selatan. Ia sudah beberapa kali tergusur. Sebelumnya, sebagai seorang perwira menengah dari jajaran Siliwangi, Ilyas pernah menempati rumah di Kompleks Siliwangi, Lapangan Banteng, yang kini menjadi Kompleks Kementerian Keuangan.

Di masa lalu kompleks militer ini amatlah terkenal di antara anak-anak muda dengan kode 234 SC (Jie Sam Soe Siliwangi Club). Selain Ilyas Karim, memang ada orang lain yang mengaku sebagai pengibar bendera pusaka yang bercelana pendek seperti Sudaryoko atau Supriadi.

Namun, Ilyas berani memastikan, dirinya adalah pengerek bendera pusaka bercelana pendek itu. Jika benar ia pengerek bendera pusaka pertama, hati kita tentunya amat terenyuh, mengapa nasibnya begitu kelam.

Ilyas adalah satu contoh pahlawan yang terlupakan. Ada juga pahlawan-pahlawan lain yang diri atau keluarganya perlu mendapatkan perhatian, termasuk para tokoh masyarakat Irian Barat yang dulu menjadi pejuang Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Terlepas dari ada di antara mereka yang kemudian memberontak kepada Republik, pemberontakan itu hanyalah ungkapan kekecewaan mereka kepada pemerintah.

Seperti diungkapkan almarhum Theys Hiyo Eluai kepada penulis lebih dari 20 tahun lalu. Dulu ia adalah seorang nasionalis anggota PNI. Tak heran jika di ruang tamu rumahnya terpampang foto Presiden Soekarno dan Presiden JF Kennedy, serta foto Megawati Soekarnoputri.

Saat penulis bertanya mengapa ia kemudian menjadi anggota DPRD Irian Jaya mewakili Golkar, Pace Theys tertawa terbahakbahak sambil mengatakan, “Itu demi kenyamanan politik saja. Hati saya tetap orang PDI.” Theys juga mengaku sebagai orang pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih di wilayah Sentani.

Lodewijk Mandatjan,tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) asal Arfak, juga pengibar bendera Merah Putih pertama di wilayah sekitar Manokwari. Hal yang sama dilakukan oleh Martin Indey, seorang nasionalis Indonesia asal Tabla Supa, Jayapura. Sampai sekarang nama Martin Indey tidak bisa diabadikan menjadi nama bandara Sentani seperti pernah diusulkan DPRD Jayapura puluhan tahun lalu.

Tokoh Ondoafi Sentani, almarhum Samuel Joku, yang penulis temui 24 tahun lalu, hanya mengatakan, “Bagaimana Martin bisa jadi pahlawan kalau selama menjadi mantri polisi di Sentani masa Belanda ia suka memukuli rakyat.”

Sam Joku adalah ayah dari mantan “Menteri Luar Negeri” Presidium Dewan Papua (PDP), Franzalbert Joku, yang kini sudah menjadi warga negara Indonesia kembali dan menjadi salah satu calon yang bertarung untuk menjadi Bupati Jayapura. Martin Indey tidak menjadi nama bandara Sentani bukan karena masa lalunya sebagai mantri polisi, melainkan karena ia bukan orang Sentani.

Masih banyak pahlawanpahlawan yang terlupakan di negeri ini. Nama-nama mereka tak masuk dalam sejarah karena mereka hanyalah orangorang kecil dan bukan bagian dari elite politik nasional pada masanya.

Hingga kini memang masih ada jurang antara elite dan massa rakyat. Rakyat hanyalah pelaku sejarah yang terlupakan. Beginikah cara bangsa kita memperlakukan mereka? Kita lupa nasihat Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.”

*) Peneliti Senior LIPI.



Pesan Tersirat :

Check

Dapatkan informasi lain di web
Read More … Pahlawan Yang Terlupakan

Marhaenisme Bisa Hancurkan Neolib

Amalkan Pancasila Mulai Diri Sendiri

Karawang – Ada satu kejutan dalam peringatan Haul ke-108 Bung Karno di Tugu Kebulatan Tekad di Rengasdengklok, Karawang,Putra sulung Bung Karno, Guntur Soekarnoputra yang selama ini tidak pernah muncul dalam kegiatan politik di depan publik dan bahkan tak pernah buka suara sejak rezim Orde Baru hingga kini, tiba-tiba naik ke panggung politik dan bahkan berorasi 'keras' terkait ekonomi kerakyatan.

Guntur yang meski baru sembuh dari penyakit stroke, berbicara lantang dan berwibawa di atas panggung. Di depan seratus ribu massa yang membanjiri lapangan sekitar Monumen Rengasdengklok, Guntur dalam orasinya menyatakan, paham neoliberalisme yang merugikan rakyat akan bisa dikalahkan oleh paham marhaenisme yang diajarkan Bung Karno. Guntur mengimbau warga Indonesia agar memegang teguh ajaran Bung Karno.

"Hakekat marhaenisme adalah gotong royong yang bisa menghancurkan paham neoliberalisme dan kapitalisme. Hanya inilah yang diwariskan oleh Bung Karno sepanjang massa," seru putra sulung mantan Presiden RI Pertama Soekarno ini.

Guntur memaparkan, ajaran marhaenisme adalah praktik ekonomi kerakyatan sosialisme di Indonesia. Paham marhaenisme merupakan paham yang dianut oleh orang yang tertindas seperti kaum buruh, petani dan nelayan. "Kalau RI ingin berdiri tegak, pegang teguh ajaran Bung Karno yaitu ideologi marhaenisme," tegas pria yang memiliki hobi fotografi ini.

Ia mengemukakan, ajaran Marhaenisme adalah pikiran-pikiran dan idiologi Bung Karno yang diwariskan kepada bangsa ini sepanjang massa. "Pegang teguh ajaran Bung Karno jika masyarakat menginginkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang adil makmur," serunya.

Menurut Guntur, Bung Karno sebagai pemikir dan bapak idiologi, memiliki cita-cita mendirikan masyarakat sosialis yang sifatnya religius. "Sosialis modern yang berKetuhanan Yang Maha Esa. ," tuturnya.

"Pegang teguh ajaran Bung Karnio! Jangan sekali-kali dilepaskan. Meski seribu halilintar menyambar Rengasdengklok, pegang teguh ajaran Bung Karno. Kita jadi satu bangsa yang bermartabat, punya kepribadian, dan merdeka," tegas Guntur.

Lantas, Guntur bertanya kepada massa yang hadir: "Apa Indonesia belum betul-betul merdeka?" Massa pun menjawab: "Belum...! "Kita belum merdeka seratus persen. Menurut Bung Karno, ada tiga hal pokok (merdeka) yaitu, berdaulat di bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan," sahut Guntur. (H2O)




Pesan Tersirat :

Check

Dapatkan informasi lain di web
Read More … Marhaenisme Bisa Hancurkan Neolib

MARHAENISME Dan Kedaulatan Politik

Amalkan Pancasila Mulai Diri Sendiri

MARHAENISME DAN KEDAULATAN POLITIK

(SUDARYANTO)

DIPERSIAPKAN SEBAGAI BAHAN SEMINAR MARHAENISME DAN KEDAULATAN BANGSA YANG DISELENGGARAKAN OLEH MARHAENISME.COM SOLO

SURAKARTA, 6 JUNI 2011

Pengantar

Saya diminta untuk menyampaikan paparan dengan judul “Marhaen­is­me dan Kedaulatan Politik.” Agar paparan ini dapat mencakup apa yang diindikasi­kan oleh tema seminar (Marhaenisme dan Kedaulatan Bangsa) dan sekaligus ha­rapan yang diinginkan melalui Kerangka Acuan seminar (berjuta-juta rakyat Mar­­haen yang masih kelaparan . . . Kapankah mereka akan memperoleh kedau­lat­an politik dan ekonomi?), maka dalam paparan ini “kedaulatan politik” akan saya bicarakan dalam konteks “negara-bangsa” maupun dalam konteks kedaulat­an politiknya “berjuta-juta rakyat Marhaen” itu.

Tentang Marhaenisme

Marhaenisme adalah faham atau ideologi yang menempatkan kaum marhaen di pusat masalahnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mar­tabat kaum marhaen di dalam wadah Indonesia yang merdeka. Thesis Par­tindo 1933 (lihat Lampiran 1) dapat dipergunakan sebagai titik tolak un­tuk memahami Marhaenisme. Thesis Partindo 1933 apabila dipahami sebagai satu kesatuan dengan tulisan-tulisan dan pidato-pidato Bung Karno, khu­susnya tulisan dan pidato pada akhir dasawarsa 1920an dan awal 1930an, memenuhi syarat sebagai sebuah ideologi. Sayangnya, sampai hari ini tidak ada partai atau lembaga yang melakukan sistematisasi terhadap tulisan dan pidato Bung Karno tersebut agar Marhaenisme dapat dipahami secara lebih cermat dan tidak menimbulkan perdebatan yang tidak perlu. Mudah-mudahan Marhaenisme.Com dapat merintis untuk melakukannya.

(Partindo atau Partai Indonesia adalah partai dan organisasi pertama yang menggunakan Marhaenisme sebagai azasnya. Thesis Partindo 1933 di­putuskan dalam kongresnya yang berlangsung di Yogyakarta pada tahun 1933. Partai Nasional Indonesia ketika didirikan pada tahun 1927 belum berasaskan Marhaenisme. Azas PNI waktu itu adalah Self-help).

Secara singkat dapat dikatakan, Marhaenisme adalah azas dan azas perjuangan (cara perjuangan dalam term Thesis Partindo 1933). Sebagai azas Marhaenisme menghendaki terbangunnya susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan marhaen; dan sebagai azas perjuangan Marhaenisme adalah cara perjuangan untuk men­capai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner. Marhaenisme adalah azas dan azas perjuangan yang menghendaki hilangnya tiap-tiap ka­pitalisme dan imperialisme.

Azas adalah dasar atau pegangan yang tidak boleh dilepaskan. Mes­ki­pun Marhaenisme itu lahir sebagai penantang terhadap terhadap kolonial­is­me Belanda, sebagai azas, Marhaenisme tidak boleh dilepaskan setelah ke­­mer­dekaan tercapai. Justru setelah kemerdekaan itulah sosio nasionalis­me dan sosio demokrasi harus menjadi pegangan dan landasan untuk mem­bangun susunan pergaulan hidup yang menyelamatkan kaum marhaen. A­zas itu ada­lah azas kebangsaan dan kemarhaenan (DBR halaman 249).

Dengan mengatakan bahwa “azas itu adalah azas kebangsaan dan kemar­haenan,” Bung Karno ingin menegaskan tentang adanya dua aspek yang harus memperoleh perhatian, yaitu aspek kabangsaan dan aspek ke­marhaenan. Oleh karena itu, kedaulatan politik yang sekarang kita bahas harus pula kita bicarakan menurut aspek kebangsaannya (yang menunjuk pa­da kedaulatan politik sebuah negara-bangsa) dan aspek kemarhaenan­nya (yang mengacu pada kedaulatan politik berjuta-juta rakyat marhaen).

Apakah Bangsa Indonesia Berdaulat?

Globalisasi yang digerakkan oleh sekitar 400 negara maya (perusa­ha­an multinasional) telah memudarkan batas-batas antarnegara dalam ber­bagai bidang kehidupan manusia. Dalam bidang politik, makin berku­rang kemampuan negara untuk mengontro kepatuhan warga negara, ka­re­na (1) internasionalisasi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, serta (2) meningkatnya interaksi kontak dan kepentingan pihak-pihak yang ter­libat globalisasi. Di bidang ekonomi, makin sulit bagi suatu negara untuk mempertahankan kebijakan ekonomi yang merdeka, karena secara fak­tual kegiatan ekonomi telah berada di luar batas teritorial negara. Semen­tara itu di bidang kebudayaan, suatu negara tidak mungkin lagi menghin­darkan diri dari pengaruh peradaban global, karena makin intensifnya in­teraksi antarbangsa melalui berbagai media komunikasi yang makin murah dan tersebar luas. Keadaan ini secara keseluruhan mengakibatkan suatu negara makin sulit untuk mempertahankan kedaulatannya.

Situasi obyektif seperti yang digambarkan di atas secara diametral bertentangan dengan semangat Trisakti Tavip (berdaulat dalam politik, ber­dikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan) seba­gai pilar kedaulatan bangsa Indonesia. Liberalisasi perdagangan sebagai inti dari globalisasi telah menjadi arus utama (mainstream) sistem perekono­mi­an dunia saat ini. Kalau bangsa Indonesia mau melaksanakan Trisakti Tavip untuk menegakkan kedaulatannya berarti harus melawan main­stream ini.

Itulah sebabnya, banyak orang mengatakan Trisakti Tavip itu adalah utopia atau sekedar mimpi orang-orang nasionalis di siang bolong. Kita ti­dak perlu cemas menghadapi “ejekan” seperti ini, meskipun juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Utopia adalah khas milik manusia, binatang tidak me­milikinya. Binatang hanya memiliki “dunia real” yang membelenggunya. Se­mentara itu manusia mempunyai “dunia yang mungkin” atau “dunia utopia” yang memimpin dan mendorong manusia untuk mengubah “dunia real”nya. Utopia adalah konstruksi simbolis untuk memotret dan membuat ruang yang mungkin bagi masa depan manusia. Persoalan yang sebenarnya adalah: bagaimana kita mengelola “mimpi” kita itu agar menjadi kenyataan, atau setidak-tidaknya mendekatinya. Adalah menjadi tugas ideologi untuk menstransformasikan tantangan-tantangan yang dihadapi menjadi masa­lah yang dapat dipecahkan oleh cara-cara perjuangannya.

Apakah Rakyat Berdaulat?

Tidak seperti yang diperkirakan banyak orang, Reformasi 1998 ter­nyata tidak membuahkan demokrasi (liberal) model Amerika, melainkan melahirkan suatu rejim yang bisa disebut sebagai rejim polyarchy electoral­ism. Yang saya maksud dengan rejim polyarchy electoralism adalah suatu bangun politik yang dikendalikan oleh elite (politik maupun ekonomi) me­lalui pemilihan umum.

Melalui Reformasi 1998, bangunan politik Orde Baru yang monolitik ditumbangkan dan pintu bagi proses demokratisasi serta penegakan hak asasi manusia dibuka. Gelombang reformasi tersebut telah memecah kon­sentrasi kekuasaan satu polar menjadi beberapa polar kekuasaan yang di­ba­ngun di sekitar tokoh-tokoh berpengaruh, yang menjadi cikal bakal partai-partai yang memegang peranan penting pada era reformasi. Proses demokratisasi di tingkat negara yang tidak segera diikuti oleh proses de­mokratisasi dalam kehidupan internal partai, ditambah lagi dengan besar­nya harapan massa dan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh elite partai, secara bersama-sama menciptakan kondisi bagi terbentuknya kepemim­pinan yang oligarkhis. Dalam kepemimpinan oligarkhis semacam ini, para pemimpin berkomplot untuk membentuk blok kepentingannya sendiri ser­ta melegitimasi sendiri itu sebagai tujuan organisasi.

Gelombang globalisasi yang gencar melanda Indonesia, pada giliran­nya juga membentuk kembali ideologi-ideologi partai dengan menyusup­nya globalisme ke dalam muatan ideologi yang asli, yang pada akhirnya ju­ga mendefinisikan ulang kesadaran para pemimpinnya. Oligarkhi yang ter­bangun dalam partai-partai itu lebih dekat dengan ideologi globalisme, dan dengan mudah dapat mematahkan semangat perjuangan para pendukung­nya yang kurang pengalaman dan kurang pendidikan.

Rent seeking activities sebagai instrument pembentukan kapital me­ru­­pakan salah satu ciri yang menonjol dalam pembangunan teknokratis yang dijalankan Orde Baru. Aktivitas pemburuan rente seperti ini juga me­ru­pa­kan salah satu ciri model developmentalist state yang dijalankan oleh negara-negara Asia Timur, seperti Jepang dan Korea Selatan. Reformasi 1998 yang diakhiri tanpa kemenangan ide­ologis, telah memberi ruang yang cukup luas kepada pemburu rente untuk “menyelamatkan diri” dan ber­meta­morfosa ke dalam orde reformasi. Melalui proses politik yang berjalan setelah Reformasi 1998, khususnya melalui pelaksanaan Pemilu 1999, terbangunlah senyawa organis antara pemburu rente warisan Orde Baru dengan oligakhi partai-partai politik yang tengah bersaing memperebutkan kendali kekuasaan. Senyawa antara pemburu rente dan oligarkhi politik ini­lah yang kemudian mendasari lahirnya rejim polyarchy electoralism sebagai habitat politik yang cocok untuk mempertahankan dan melindungi kepen­tingan mereka melalui penggunaan uang sebagai sumber daya politik yang utama. Mereka muncul sebagai kelompok atau kelas baru yang berkuasa dan menggunakan negara sebagai alat struktural maupun instrumental untuk memperkaya diri, sebuah model pencarian kekayaan yang dilakukan secara kolektif. Biaya politik yang mahal sebagai akibat pengendalian ranah politik dengan kekuasaan uang bukanlah sebuah kecelakaan (by accident), melainkan sebuah habitat politik yang secara sistimatis diciptakan (by design), yang berfungsi sebagai formalin untuk mengawetkan kekuasaan mereka. Reformasi 1998 telah mengubah negara otoritarian bukan men­ja­di negara demokrasi (di mana kekuasaan berada di tangan rakyat), melainkan menjadi negara elektokrasi (di mana kekuasaan berada di tangan para elek­­tokrat).

Jakarta, 5 Juni 2011.

Lampiran 1

THESIS PARTINDO 1933

1. Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

2. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat, dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.

3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh ka­re­na perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bias juga diartikan bahwa ka­um tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalam­ya.

4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa di dalam perjuangan, kaum me­larat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemen­nya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Mar­haen itu.

5. Di dalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan, bah­wa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali.

6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Mar­haen.

7. Marhaenisme adalah pula cara-perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karena­nya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.

8. Jadi Marhaenisme adalah: cara-perjuangan dan azas yang menghen­daki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialism. . . .

9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalan­kan Marhaenisme.

Lampiran 2

APA KATA BUNG KARNO

(Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1)

UMUM

· Politik buat saya bukanlah pertama-tama menciptakan suatu idĆ©e, politik buat saya ialah menyusun suatu kekuasaan yang terpikul oleh idĆ©e. Hanya machtvorming yang terpikul oleh idĆ©e itulah yang bisa mengalahkan segala musuh kaum Marhaen. (168)

· Azas adalah dasar atau “pegangan” kita, yang, “walau sampai lebur kiamat”, terus menentukan “sikap” kita, terus menentukan “duduknya nyawa kita”. Azas tidak boleh kita lepaskan, tidak boleh kita buang, walaupun kita sudah mencapai Indonesia-Merdeka, bahkan malahan sesudah tercapainya Indonesia-Merdeka itu harus menjadi dasar caranya kita menyusun kita punya masyarakat. Sebab justru sesudah Indonesia-Merdeka itu timbullah pertanyaan: bagaimana kita menyusun kita punya pergaulan-hidup? Dengan azas atau cara bagaimanakah kita menyusun kita punya pergaulan-hidup? Cara monarchie? Cara Republik? Cara kapitalistis? Cara sama-rasa-sama-rata? Semua pertanyaan-pertanyaan ini, dari sekarang sudahlah harus terjawab di dalam azas kita. Dan bagi kita Marhaen, azas kita ialah kebangsaan dan ke-Marhaen-an, — sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. (249)

· Tetapi kini timbullah pertanyaan: bagaimanakah kita bisa mencapai Indonesia-Merdeka, dan kemudian bisa melaksanakan azas kita itu? Jawab hanyalah satu: kita harus menjalankan perjoangan. Zonder perjoangan, zonder bergerak habis-habisan, kita tak akan mencapai Indonesia-Merdeka itu. . . . . . Ya, . . . tetapi perjoangan yang bagaimana? Perjoangan dengan cara minta-minta? Dengan cara dewan-dewanan? Dengan cara kecil-kecilan, cara salon-salonan, cara warung-warungan? Pertanyaan ini adalah dijawab oleh azas-perjoangan, atau dengan bahasa Belanda: strijdbeginsel. Azas-perjoangan adalah menentukan hukum-hukum daripada perjoangan itu, menentukan “strategie” daripada perjoangan itu. Azas-perjoangan menentukan karakternya perjoangan itu, sifat-wataknya perjoangan itu, garis-garis besar daripada perjoangan itu, –bagaimananya perjoangan itu. (249-50)

· All right. Tetapi bagaimana kita harus memelihara perjoangan kita yang sudah kita beri azas-perjoangan itu? . . . . . Dengan taktik! Taktik adalah segala perbuatan apa sahaja yang perlu untuk memelihara perjoangan itu. Taktik kita jalankan, kita robah, kita belokkan, kita putarkan, kita candrakan menurut keperluan sehari-hari. . . . . . Marx pernah berkata, bahwa kalau perlu, kita boleh merubah taktik 24 kali di dalam 24 jam. Dan Liebknecht pernah mengatakan, bahwa berobahnya taktik adalah seperti berobahnya buah-buah-catur di atas papan-catur: tiap-tiap macam sikapnya musuh, tiap-tiap keadaan, kita harus jawab dengan taktik yang secocoknya. Ini hari kita menjalankan aksi-garam, besok pagi kita jalankan aksi-buruh, besok lusa kita jalankan aksi-pajak; ini hari kita mementingkan kursus, besok pagi kita mementingkan rapat-umum, besok lusa kita bikin pers-kampanye, besok lusa lagi kita “diam di dalam tujuh bahasa”; ini hari kita menyerang, besok pagi kita mengatur susunan, besok lusa kita berdemonstrasi, besok lusa lagi kita menggugah kaum perempuan. Begitulah ganti-gantinya taktik, begitulah naik-turunnya dan maju-mundurnya ombak-ombak-taktik di dalam lautan perjoangan. (250-1)

· Azas tetap-terus “sampai lebur kiamat”, azas-perjoangan tetap sampai Indonesia-Merdeka, taktik berobah tiap-tiap waktu. Azas seakan-akan abadi, tetapi taktik tak tentu umur. Satu macam taktik bisa jadi perlu dijalankan selama sepuluh tahun, tapi bisa juga sudah perlu dibuang lagi di dalam sepuluh menit. (251)

· Pergerakan yang kacau-balau di dalam bathinnya, akan segera menjungkel karena terserimpet kekacau-balauannya sendiri. (251)

MARHAENISME SEBAGAI AZAS

· Apakah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu? Dua perkataan ini adalah perkataan bikinan, kami punya bikinan. Sebagaimana perkataan Marhaen adalah tempo hari kami “bikinkan” buat yang menyebut kaum yang melarat-sengsara, maka perkataan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi adalah pula perkataan-bikinan untuk menyebutkan kita punya nasionalisme dan kita punya demokrasi. Sosio adalah terambil daripada perkataan yang berarti: masyarakat, pergaulan-hidup, hirup-kumbuh, siahwee. Sosio-nasionalisme adalah dus: nasionalisme-masyarakat, dan sosio-demokrasi adalah demokrasi-masyarakat. (174)

· Masyarakat yang nanti kita dirikan, haruslah masyarakat sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, cara-pemerintahan yang nanti kita jalankan adalah cara-pemerintahan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, republic yang nanti kita dirikan adalah republik sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, –suatu republik politik-sosial yang tiada kapitalisme dan tiada imperialism. (249)

· Sosio-nasionalisme adalah “nasionalisme-masyarakat”, nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wet-wetnya masyarakat itu . . . . . dan tidak bertindak melanggar wet-wetnya masyarakat itu. (187)

· Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, nasionalis yang bukan chauvinis . . . . . (5)

· . . . . . maka sosio-nasionalisme adalah nasionalisme Marhaen, dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat ini. Jadi: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik DAN ekonomi, suatu nasionalisme yang bernaksud mencari keberesan politik DAN keberesan ekonomi, keberesan negeri DAN keberesan rezeki. (175)

· Demokrasi-masyarakat, sosio-demokrasi, –adalah timbul karena sosio-nasionalisme. Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demokrasi a la Revolusi Perancis, bukan demokrasi a la Amerika, a la Inggeris, a la Nederland, a la Jerman d.l.l., tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik DAN ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik DAN demokrasi-ekonomi. (175)

MARHAENISME SEBAGAI AZAS PERJUANGAN

· Kini apakah-azas perjoangan Marhaen? Azas-perjoangan adalah misalnya: non-koperasi, machtsvorming, massa-aksi, dan lain-lain. Non-koperasi karena Indonesia-Merdeka tak akan tercapai dengan pekerjaan-bersama dengan kaum sana, machtsvorming karena kaum sana tak akan memberikan ini dan itu kepada kita kalau tidak terpaksa oleh macht kita, massa-aksi oleh karena machtsvorming itu hanya bisa kita kerjakan dengan massa-aksi. (250)

· Non-kooperasi berarti “tidak mau bekerja bersama-sama”. . . . Non-kooperasi kita adalah salah satu azas-perjoangan (strijdbeginsel) kita untuk mencapai Indonesia-Merdeka. Di dalam perjoangan mengejar Indonesia-Merdeka itu kita harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, antara antara kaum penjajah dan kaum yang dijajah. (189)

KAPITALISME DAN IMPERIALISME

· Kapitalisme adalah stelsel pergaulan-hidup, yang timbul daripada cara-produksi yang memisahkan kaum-buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme adalah timbul dari ini cara-produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya meerwaarde tidak jatuh di dalam tangannya kaum-buruh melainkan jatuh di dalam tangannya kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, adalah menyebabkan kapitaalaccumulatie, kapitaalconcentratie, kapitaalcentralitatie, dan industrieel reserve-armee. Kapitalisme mempunyai arah kepada Verelendung, yakni menyebarkan kesengsaraan. (181)

· Imperialisme adalah suatu nafsu, suatu politik, suatu stelsel menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri bangsa lain, suatu stelsel overheersen atau beheersen ekonomi atau negeri bangsa lain. Ia adalah suatu verschijnsel, suatu “kejadian” di dalam pergaulan hidup, yang menurut faham kita timbulnya ialah karena keharusan-keharusan atau noodwendigheden di dalam geraknya ekonomi sesuatu negeri atau sesuatu bangsa. (122)

· Terutama kaum Marxis-lah yang banyak urunannya. . . . . Mereka membuktikan, bahwa semua imperialisme adalah berazaskan urusan rezeki-sendiri, urusan rezeki-sendiri yang berupa mengambil bekal hidup atau levensmiddelen, urusan rezeki-sendiri yang mencari pasar-pasar-penjualan barang-barang alias afzetgebieden, urusan rezeki-sendiri mencari padang-padang pengambilan bekal-industri alias grondstofgebieden, urusan rezeki sendiri yang mencari tempat-tempat menggerakkan kapital-kelebihan alias exploitatiegebieden daripada surpluskapitaal. (122-3)

Pesan Tersirat :

Check

Dapatkan informasi lain di web
Read More … MARHAENISME Dan Kedaulatan Politik

MARHAENISME Sebagai Ideologi

Amalkan Pancasila Mulai Diri Sendiri

MARHAENISME SEBAGAI IDEOLOGI

(Sudaryanto)

DIPERSIAPKAN SEBAGAI BAHAN KURSUS MARHAENISME PERGERAKAN KEBANGSAAN SEMARANG, APRIL-MEI 2009

IDEOLOGI ITU KEYAKINAN

Ideologi adalah seperangkat keyakinan dan/atau ketidak-yakinan yang berorientasi pada tingkah laku (an action oriented set of beliefs and/or disbeliefs).

Atau dengan kata lain, sistem pemikiran yang terkandung dalam ideologi itu menghasilkan perbuatan. Kalau sistem pemikiran itu tidak menghasilkan perbuatan berarti bukan ideologi, melainkan hanya merupakan proyeksi angan-angan atau keinginan saja.

“Sosio demokrasi” atau “marhaenisme menolak kapital-isme”, misalnya, baru menjadi ideologi, dan bukannya utopia, kalau mampu dijelmakan dalam tindakan.

UNSUR-UNSUR IDEOLOGI

Ideologi sebagai seperangkat faham atau keyakinan yang menyeluruh dan terpadu mengandung unsur-unsur sebagai berikut : (1) Ada pandangan kompre-hensif tentang manusia dan dunia serta alam semesta dimana manusia itu hidup. Ada faham menyeluruh di bidang antropologi, sosiologi, dan politik. (2) Ada rencana penataan kehidupan sosial dan kehidupan politik, berdasarkan butir 1. (3) Ada kesadaran dan pencanangan, bahwa realisasi rencana yang tertera pada butir 2 membawa perjuangan dan pergumulan yang menuntut perombakan dan perubahan.

Karena itu ideologi sering menggunakan istilah-istilah seperti pergolakan, perjuangan, peperangan, sasaran, strategi, dan sejenisnya. (4) Ada usaha mengarahkan masyarakat untuk menerima secara yakin perangkat faham serta rencana kerja yang diturunkan dari perangkat faham tersebut. Ideologi menuntut loyalitas dan keterlibatan dari pengikutnya. (5) Ada usaha menjangkau lapisan masyarakat seluas mungkin, walaupun diandalkan sekelompok kecil inti, yang merupakan otak pemikir. Jadi ada massa dan ada kader.

Kalau disederhanakan, di dalam sebuah ideologi sekurang-kurangnya harus terkandung: (1) interpretasi (tentang eksistensi atau “sangkan paran” kelompok yang menganut ideologi terse-but, (2) etika (tentang mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk), dan (3) retorika (sebagai ajakan untuk bertindak berdasarkan keyakinan atau faham yang tertera dalam 1 dan 2).

MARHAENISME SEBAGAI IDEOLOGI

Marhaenisme, seperti yang dapat dibaca dalam Thesis Partai Indonesia 1933, memenuhi syarat sebagai sebuah ideologi apabila dibaca sebagai satu kesatuan dengan tulisan-tulisan Bung Karno yang berhubungan dengan itu, khususnya tulisan-tulisan beliau pada paruh kedua 1920-an dan awal 1930-an.

Sayangnya, tidak ada partai atau organisasi penganut Marhaenisme yang melakukan sistimitasi terhadap tulisan-tulisan Bung Karno tersebut menjadi satu kesatuan yang menyeluruh dan terpadu.

Disarankan untuk dibaca : “Indonesia Menggugat” dan beberapa tulisan di dalam “Dibawah Bendera Revolusi” sebagai berikut : “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, “Swadeshi dan massa-aksi di Indonesia”, “Demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi”, “Kapitalisme bangsa sendiri?”, “Sekali lagi tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi”, “Non-cooperation tidak bisa mendatangkan massa-aksi dan machtsvorming?”, “Azas; azas-perjoangan; taktik”, “Mencapai Indonesia Merdeka”, “Indonesia versus fasisme”, “Beratnya perjoangan melawan fasisme”, dan “Fasisme adalah politiknya dan sepak terjangnya kapitalisme yang menurun” ***



Pesan Tersirat :

Check

Dapatkan informasi lain di web
Read More … MARHAENISME Sebagai Ideologi

Halal bi Halal di Gedung Nasionalis Gelanggang

Amalkan Pancasila Mulai Diri Sendiri

PAC Gerindra Pakisaji pada hari minggu 11 September 2011 bertempat di Gedung Nasionalis desa Glanggang kecamatan Pakisaji mengadakan kegiatan Halal bi Halal. Dalam acara yang dihadiri oleh 33 PAC Gerindra, DPC Gerindra Kabupaten Malang, beberapa pengurus partai PDI Perjuangan, PKNU, PKB dan Tokoh Nasionalis Djati Kusumo. Acara yang dimulai sekitar pukul 13.00 ini diawali dengan menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Sambutan, Siraman rohani halal bihalal dan review tentang isu politik diakhiri Ramah Tamah.

Dalam sambutannya Ketua pelaksana Kusnadi mengajak pengurus partai gerindra karena nama partai adalah Gerakan Indonesia Raya untuk melaksanakan pergerakan untuk bisa memenangkan pemilu. Imam Zuhdi selaku Ketua DPC menyampaikan bahwa konsekuensi dengan dilantik menjadi PAC maka berkewajiban membentuk Ranting-ranting di daerahnya. Untuk menjalin komunikasi dengan konstituen DPC Gerindra memiliki website gerindrakabmalang.com dan group facebook dengan nama yang sama

Djati Kusumo dalam tausiah halal bihalal menyampaikan bahwa tradisi ini diawali sekitar tahun 1930an di Jogjakarta akibat adanya tekanan dan upaya penjajah menjauhkan pemimpin bangsa dengan rakyatnya. Bung Karno pun menyampaikan pada Sultan untuk membudayakan silaturahmi setelah berakhirnya bulan ramadhan, dan sejak itulah budaya ini berkembang hingga ke Brunai, malaysia dan negara-negara lain. (H2o)


Pesan Tersirat :

Check

Dapatkan informasi lain di web
Read More … Halal bi Halal di Gedung Nasionalis Gelanggang

Bahkan Sepatupun tak Terbeli, Bung Hatta Kejujuran dan Kesederhanaan

Amalkan Pancasila Mulai Diri SendiriTautan

Bung Hatta terkenal dengan sikapnya yang selalu jujur, santun, dan hemat, selain pandai serta memiliki keberanian dalam diplomasi yang sudah terbuktikan dalam sejarah perjuangan bangsa menuju gerbang kemerdekaan. Meutia Farida Hatta Swasono, putri sulung Bung Hatta menulis di Harian Kompas (9/8/2002): "Keluargaku bukan keluarga yang mengejar kemewahan hidup. Bukan hanya ayahku saja yang berprinsip demikian, namun juga ibuku, Ibu Rahmi Hatta. 'Kita sdh cukup hidup begini, yg kita miliki hanya nama baik, itu yang harus kita jaga terus,' kenang Meutia Hatta sambil menirukan kata-kata sang Ayah kepada ibunya."

Keberanian Bung Hatta dan Bung Karno membubuhkan tanda tangan pada naskah Proklamasi adalah risiko besar buat mereka berdua. Mereka bisa saja dituduh sebagai pemimpin pemberontakan, makar, penggulingan kekuasaan, bahkan kemungkinan sebagai tertuduh penjahat perang, oleh para penjajah.

Jepang yang sudah takluk dalam Perang Pasifik dan Perang Dunia II saja masih memperlihatkan minatnya menjajah Indonesia, apalagi dengan bangsa sekutu yang merasa di atas angin karena kemenangannya terhadap Jepang. Dan saat itu secara terang-terangan beberapa tokoh pergerakan yang menolak membubuhkan tanda tangan mereka (saat proklamasi akan diucapkan) atas alasan yang sama. Namun kedua Proklamator tersebut justru dengan gagah berani menanggung resiko besar itu, demi memberitakan Kedaulatan Indonesia.

Sikap santun Bung Hatta tak mengurangi keberaniannya memilah antara yang haq/benar dan yang salah. Saat mundur dari jabatan Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956, ia dengan elegan serta santun menyampaikannya kepada pemerintah. Ia merasa Bung Karno telah berlaku contradictio in terminis (di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi).

Sikapnya masih sama, tegas dalam bersikap namun tetap santun dalam mengemukakan argumentasinya. Sebelum mundur, ia sempat berkali-kali memberi masukan kepada sahabatnya itu, namun ketika Bung Karno tetap berjalan sesuai dengan konsepsinya sendiri, maka kemudian Bung Hatta dengan tegas undur diri.

Kejujuran Bung Hatta tidak diragukan. Bukan hanya jujur, tetapi juga menurut Jacob Oetama (Pemimpin Umum harian Kompas), Bung Hatta adalah jenis manusia yang uncorruptable, tidak bisa korupsi. Kejujuran hatinya membuat dia tak rela untuk sedikit saja menyimpang, sekedar menodainya dengan tindak korupsi.

Kalau saja ia mau melakukan korupsi, mungkin bukan hanya sepatu merek Bally yang mampu dibelinya, namun saham di pabrik sepatu tersebut bisa dibelinya. Dan setiap hari bisa dipastikan ia akan berganti-ganti sepatu baru. Namun, ia tak melakukan semua itu. Ia hanya menyelipkan potongan iklan sepatu merek Bally yang tidak mampu dibelinya hingga akhir hayatnya. Bahkan untuk membayar listrik rumahnya pun ia hanya mengandalkan uang pensiun sebagai Wakil Presiden. Berkali-kali ia menasehati keluarganya, untuk tidak mengambil selain yang menjadi haknya.

Hingga akhir hidupnya potongan iklan Sepatu Merek Bally tetap ia simpan sebagai kenang-kenangan bahwa nilai-nilai Kejujuran selalu mampu mengalahkan ego pribadinya sebagai manusia biasa. Bung Hatta adalah cermin seorang tokoh yang lurus dan bersih serta memiliki nama baik yang senantiasa terus dijaganya.




Pesan Tersirat : Harga Diri diatas segalanya

Check
Read More … Bahkan Sepatupun tak Terbeli, Bung Hatta Kejujuran dan Kesederhanaan

Tendangan Dari Langit

Amalkan Pancasila Mulai Diri Sendiri

Nikmatnya sepak bola di negeri ini tidak hanya bisa disaksikan di lapangan hijau saja. Serunya menyerukan semangat bagi tim nasional yang mencoba mencetak gol kini bukan hanya milik penggemar fanatik olahraga ini saja, tetapi juga menjadi salah satu pemicu menyeruaknya semangat nasionalisme di negeri ini. Lewat layar lebar pula semangat itu ditularkan bagi penggemar film. Dua tahun lalu, Salto Film mempersembahkan Garuda Di Dadaku yang berkisah tentang mimpi seorang anak dan dunia sepak bola. Tahun 2011 ini, mimpi itu kembali muncul lewat bakat seorang remaja asal Gunung Bromo dengan arahan sutradara Hanung Bramantyo produksi Dapur Film.
Sepak bola sebagai olahraga yang begitu dekat dengan masyarakat Indonesia ternyata masih terlalu jauh untuk diraih bagi remaja asal Langitan, Wahyu (Yosie Kristanto). Konon ia punya bakat besar dan mimpi yang sama besarnya untuk bisa bergabung di Persema (Persatuan Sepak Bola Malang) bersama dua nama besar yang sedang populer, Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan. Wahyu mungkin mewakili beberapa jiwa anak muda yang ingin menjadikan sepak bola sebagai pilihan kariernya. Berawal dari pemain bayaran untuk Desa Karangsari di lereng Gunung Bromo, Wahyu beruntung bisa bertemu dengan Coach Timo sang pelatih Persema ketika menolong anaknya yang diganggu anak jalanan di Malang. Pertemuan mereka memang hanya sekilas saja. Namun, ‘jodoh’ mempertemukan mereka kembali saat Coach Timo melihat Wahyu yang sedang berlatih bola di Gunung Bromo.
Menganggap bakatnya bisa diasah, Coach Timo mengajak Wahyu ikut try out Persema, tentunya bersama Bachdim dan Kurniawan. Masalah mulai muncul pasca tes kesehatan ditemukan penyakit osgoodschlatter di kaki kanan Wahyu. Harapan mulai pupus bagi Wahyu untuk membuktikan bahwa anak Langitan bisa bersanding dengan para pemain naturalisasi di lapangan hijau Gajayana sampai nantinya di Gelora Bung Karno. Ini bukan masalah pertama yang dihadapi Wahyu, sang ayah Darto (Sujiwo Tejo) terang-terangan menolak sepak terjang Wahyu di lapangan sepak bola. Baginya, sepak bola hanyalah memberikan angan-angan palsu tanpa ada hasil yang konkret. Namun hati Darto akhirnya luluh setelah Wahyu memenangkan pertandingan besar dan menghadiahkan kuda untuk membantu ayahnya bekerja.
Menonton film ini bagi penonton awam sepak bola tentu menjadi kesenangan tersendiri, apalagi melihat bagaimana pencapaian anak daerah menuju mimpi lapangan hijau kota besar, Malang dan Jakarta, berkali-kali disebut. Tanpa bermaksud membandingkan, Tendangan memiliki kemiripan pola mengejar mimpi karier sepak bola dengan Garuda. Berawal dari hobi, ‘dikompori’ orang terdekat untuk bisa meraih mimpi lebih tinggi tetapi terbentur dengan larangan keluarga.
Di Tendangan begitu banyak tokoh yang berperan menjadi ‘kompor’ untuk memanasi Wahyu pilihan mana yang sebaiknya dipilih. Awalnya, ketika Wahyu berseteru dengan Darto yang terus melarangnya bermain bola, Hasan (Agus Kuncoro) selalu berada di belakang Wahyu mendukung setiap pilihan langkahnya. Hasan bahkan mempertemukan Wahyu dengan Gatot (Toro Margens), yang akhirnya menghadiahinya kuda setelah memenangkan pertandingan. Hasan selalu muncul di saat-saat terburuk Wahyu, termasuk saat amarah Darto memuncak Hasan juga membongkar kenapa Darto begitu membenci sepak bola. Saat itu Wahyu merasa ada dalam lindungan Hasan, sang Pak Le yang bisa menyelamatkan mimpinya di lapangan hijau.
Keadaan menjadi berbalik ketika Darto mulai luluh dan mengizinkan Wahyu main sepak bola. Awalnya terkesan mendukung Wahyu bermain bola untuk mengejar impian sekaligus mendapat uang tambahan, Hasan justru sempat menghalangi niat Wahyu untuk menerima tawaran Coach Timo di Persema. Hasan memang sempat mengantar Wahyu menuju markas Persema, tapi ketika di tengah jalan ban motor Hasan pecah dan Wahyu nyaris terlambat, Hasan masih berniat membuat Wahyu mengurungkan niatnya itu.
Perlahan-lahan karakter Hasan terlihat memiliki hidden agenda terhadap Wahyu. Ia ingin Wahyu tetap bermain sebagai pemain bayaran sebagai bahan taruhan bola warga Karangsari. Hal ini baru terungkap jelas di akhir film ketika ia berhasil mengumpulkan banyak uang taruhan saat Wahyu kembali bermain untuk Karangsari. Padahal, bagi saya sendiri tokoh yang diperankan Agus Kuncoro ini begitu menarik perhatian. Mulai dari sikapnya yang provokatif bagi Wahyu, terkadang jenaka kala bercanda, sampai sikapnya yang agak penakut ketika berhadapan dengan Gatot. Terlihat dari dialognya dengan Wahyu yang cukup mendominasi di awal film. Ia juga memposisikan dirinya sebagai pelindung Wahyu dengan berkali-kali menyebut dirinya “Pak Le” alias paman untuk mengesankan kedekatannya dengan Wahyu. Didukung dengan ketidakakuran Wahyu dengan Darto, situasi tersebut sangat menguntungkan posisi Hasan di mata Wahyu.
Ketamakan Hasan terbongkar seiring dengan perubahan sikap Darto yang melunak. Sang ayah yang sudah terbuka dan mengizinkan Wahyu bergabung di Persema ditunjukan dengan mimik Sujiwo Tejo yang makin mengumbar senyum. Pemilihan kata-kata yang seperti berpantun makin menguatkan sosok Darto yang justru sudah berada di pihak Wahyu dan membebaskan pilihannya. Hal ini terlihat ketika Wahyu didera kebingungan memilih antara cintanya dengan Indah (Maudy Ayunda), sang gadis impian atau sepak bola. Darto hanya memberikan nasihat “Cinta itu harus memilih salah satu, yang satunya lagi hanya menghormati” atau cara Darto yang berusaha menggoda Wahyu dengan pantunnya, “Kalau cinta melekat, tai kucing terasa cokelat”. Guyonan Darto tersebut seolah meruntuhkan karakternya yang sebelumnya ditampilkan sebagai ayah yang kaku, pemarah dan tidak suportif.
Celetukan Sujiwo Tejo yang banyak menyelipkan kritik sosial seputar sepak bola, politik dan percintaan remaja memberikan kesegaran tersendiri bagi tokoh Darto dan dialog yang dilontarkannya. Selipan nyeleneh Darto ini seperti ingin menyindir masalah-masalah persepakbolaan Indonesia yang kini penuh dengan campur tangan beberapa pihak. Di sisi lain, tidak dipungkiri sepak bola masih dianggap sebagai salah satu alat pemicu nasionalisme di negeri ini. Hal ini juga terlihat di awal film ketika menampilkan pertandingan sepak bola zaman dulu sampai kekalahan tim nasional Indonesia di piala AFF dengan Malaysia. Masyarakat pun menyatukan suara dan semangat untuk tetap mendukung Indonesia.
Kembali ke film, dua tokoh Hasan dan Darto ini membantu menguatkan karakter Wahyu yang masih nampak datar dan tidak dominan. Wahyu mungkin memang tidak digambarkan sebagai sosok yang ekspresif atau jenaka seperti kedua temannya yang diperankan oleh Jodi Onsu dan Joshua Suherman. Namun, tokoh Wahyu justru menonjol akibat munculnya karakter-karakter lain yang menguatkan sosok Wahyu itu sendiri.
Adegan Wahyu yang menangis akibat vonis kaki kanannya makin terasa emosional saat Darto berusaha menenangkan sekaligus ikut marah lewat kata-katanya yang menyalahkan sistim politik dan sepak bola Indonesia. Adegan tersebut melibatkan Wahyu, Darto dan ibu Wahyu pada tiga tempat berbeda namun mereka semua merasakan kepedihan yang sama. Selain itu, adegan Wahyu-Darto-Hasan yang berkelahi di depan warung kopi lapangan Karangsari juga memanas lewat dialog-dialog Darto dan Wahyu. Kembali emosi penonton dipancing lewat amarah Darto dan pernyataan tulus Wahyu tentang keinginannya membahagiakan sang ayah. Boleh diakui, dialog antar tokoh inilah yang menjadi salah satu kekuatan film yang cukup membuat mengharubiru.
Terlepas dari dialog-dialog yang memorable, beberapa detail adegan nampaknya luput dari perhatian. Kaki kanan Wahyu divonis osgoodschlatter, namun ketika Wahyu tumbang saat main bola di Karangsari, ia terlihat memegang kaki kirinya. Di adegan berikutnya ia baru memegang kaki kanannya. Film yang kental unsur Jawa Timur ini seperti ingin masuk sampai logat para pemainnya. Sayangnya logat Maudy Ayunda justru terkesan dipaksakan. Terasa perbedaan signifikan dengan Melly atau Wahyu sendiri.
Lepas dari semua itu, Tendangan merupakan salah satu film yang menyenangkan ditonton di musim libur Lebaran ini. Unsur lokal yang kental lewat lokasi dan dialognya, nuansa sepak bola yang penuh pesan nasionalisme sekaligus ajang jualan para pemain naturalisasi yang sedap dipandang mata. Meskipun Bachdim dan Kurniawan dipajang sebagai ‘dagangan’ utama film ini, bagi saya dua bule abg itu tidak membuat ingin menatap mereka lebih lama, atau mendengar mereka berdialog dalam bahasa Indonesia barang sepatah dua patah kata. Tidak perlu produk impor untuk membuat film ini enak dipandang dan didengar. Cukup memandang indahnya lereng Bromo, mendengar celetukan nyeleneh khas Sujiwo Tejo maka lengkaplah film ini untuk bisa nendang bagi penikmat film tanpa perlu menjadi pecinta sepak bola.


Pesan Tersirat : Film yang bercerita tentang rasa nasionalisme
sumber artikel : cinemapoetica.com

Check
Read More … Tendangan Dari Langit

Indahnya Kerukunan Beragama


Amalkan Pancasila Mulai Diri Sendiri


Sebagaimana di beberapa kota di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, di Kepanjen pun pelaksanaan sholat Ied terjadi 2 hari berturut-turut. Namun ada sesuatu yang menarik saat penulis melaksanakan sholat ied di hari Rabu (31/08/2011). Ada beberapa anggota masyarakat yang menggunakan seragam hitam putih di beberapa tempat, ternyata mereka adalah gabungan beberapa umat beragama Non Muslim. Mereka ikut serta membantu mengamankan jalannya pelaksanaan Sholat Ied yang tengah dilaksanakan oleh umat Islam di Kepanjen.

Menurut salah seorang aktifis tersebut dari gabungan umat Kristen, Katolik, dan hindu yang ada di wilayah kepanjen telah melaksanakan bantuan pengamanan kegiatam semenjak kegiatan Takbir tanggal 29 Agustus malam hingga pelaksanaan sholat pagi hari tanggal 31 Agustus ini.

Jumlah personil yang diturunkan guna membantu pengamanan kegiatan hari besar Islam ini sejumlah 50 orang yang disebar di 7 Lokasi di wilayah Kecamatan Kepanjen.

Mereka berharap dengan adanya kerjasama dalam berbagai kegiatan yang ada dapat mewujudkan kehidupan yang rukun dan tenteram bagi bangsa Indonesia dan khususnya masyarakat kecamatan Kepanjen pada khususnya.

Dengan semangat rasa Nasionalisme yang dimiliki oleh berbagai kalangan umat beragama di Kecamatan Kepanjen kegiatan-kegiatan tersebut dapat berjalan dengan baik dan dengan niatan yang tulus untuk saling menghargai dan menghormati kepercayaan masing-masing warga negara.

Pesan Tersirat : Hidup Rukun dan toleransi beragama mewujudkan Kedamaian
Read More … Indahnya Kerukunan Beragama
 

Free Blog Templates

Blog Tricks

Easy Blog Tricks

bukan blog koruptor

perangi korupsi
dari dirimu sendiri
©  Grunge Theme Copyright by Paguyuban NASIONALIS Kab Malang | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks